Rendah Hati dalam Akhlak Tasawuf

BAB I

PENDAHULUAN

  1. A.    Latar Belakang Masalah

Tasawuf merupakan salah satu aspek Islam, sebagai perwujudan dari ihsan, yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan Tuhan-Nya.

Dalam dunia tasawuf, seseorang yang ingin bertemu dengan-Nya, harus melakukan perjalanan dan menghilangkan sesuatu yang menghalangi antara dirinya dengan Tuhan-Nya. Dalam tasawuf sikap ini disebut tawadhu’.

Dalam agama Islam, orang yang pertama kali memperkenalkan sifat tawadhu’ adalah Nabi Muhammad SAW. Dengan ketinggian akhlak beliau, maka mula-mula para shahabat mencontoh perilaku serta sifat-sifat beliau yang salah satu sifatnya adalah sifat tawadhu’. Dalam dunia sufi pun, sifat tawadhu’ adalah salah satu cara untuk membersihkan jiwa. Karena lawan dari sombong/ tinggi hati adalah tawadhu’/ rendah hati. 

Sikap tawadhu’ sangat erat kaitannya dengan sifat ikhlas. Rangkuman keikhlasan seorang hamba ada pada ketawadhu’annya. Orang yang mampu bersikap tawadhu’ berarti keikhlasan telah bersarang di hatinya. Bedanya, ketawadhu’an lebih bersifat horizontal.

Tawadhu’ banyak berhubungan dengan manusia secara sosial. Sedangkan Ikhlas, lebih bersifat vertikal, langsung kepada Allah, tawadhu’ bukan berarti menghinakan diri. Tapi tawadhu’ adalah bentuk penghambaan kepada Tuhan yang sesungguhnya. Tawadhu’ juga sering disebut sebagai obat dari sifat sombong. Karena dengan mencabut sifat sombong, maka akan timbul sifat rendah hati/ tawadhu’.

Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana sifat tawadhu’ dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah? Serta apa saja macam tawadhu’?. Dalam makalah yang sederhana ini, kami ingin menjawab pertanyaan tersebut dan memaparkan hal-hal yang berkaitan dengannya.

  1. B.     Rumusan Masalah
  2. Apa pengertian tawadhu’ beserta dalil yang berdasarkan al-qur’an dan hadits?
  3. Apa macam-macam tawadhu’ dan tanda-tandanya?
  4. Apa keutamaan sifat tawadhu’?
  5. Bagaimana Cara Menghilangakan Kesombongan dan Mengupayakan Ketawadlu’an?

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. A.    Pengertian tawadhu’

Secara Etimologi Arab kata, tawadhu’ berasal dari kata ( تواضع- يتواضع) yang mempunyai arti (merendahkan diri, rendah hati). Selain itu ada kata lain (وضع) yang artinya “tempat, letaknya”. (Mahmud Yunus, 1992: 105).

Tawadhu’ secara Terminologi Menurut Al-Ghozali (1995:350). Tawadhu’ adalah mengeluarkan kedudukanmu atau kita dan menganggap orang lain lebih utama dari pada kita. Pada hakekatnya tawadhu’ itu adalah “sesuatu yang timbul karena melihat kebesaran Allah, dan terbukanya sifat-sifat Allah.” (Ahmad Athoillah, 2006: 448).[1] Tawadhu adalah kerendahan hati yang tidak menilai dirinya lebih baik dari orang lain dan tuntutannya adalah perilaku dan ucapan hormat kepada orang lain. (Mulla Ahmad Naraqi, Mi’rajus Saadah, halaman 300).[2]

Ibnu Quddamah rahimahullah mengatakan dalam pembahasannya tentang Tawadhu’:Ketahuilah, sesungguhnya makhluk ini sama seperti makhluk lainnya, mempunyai dua sisi dan  pertengahan: maka sisinya yang cenderung berlebihan dinamakan sombong, dan sisi lainnya yang cenderung kepada kekurangan dan kerendahan disebut kehinaan, dan pertengahan dinamakan Tawadhu’ –dan itulah yang terpuji- yaitu merendahkan diri tanpa menghinakan diri…‘ 

Sebagaimana akhlak-akhlak yang lain, ketawadhu’an juga mempunyai dua ujung dan pertengahannya. Salah satu ujungnya adalah yang cenderung kepada sikap berlebihan, dan ini dinamakan kesombongan. Sedangkan ujung yang lain adalah yang cenderung kepada sikap mengurang-ngurangkan, dan ini dinamakan menghinakan dan merendahkan diri. Dan pertengahan antara kedua sikap inilah yang dinamakan tawadhu’. Dan tawadhu’ yang terpuji adalah yang tidak sampai menghinakan diri. Masing-masing dari dua ujung ini tercela. Dan sebaik-baik perkara yang disukai Allah adalah pertengahannya.[3]     

Ibnu Qoyyim dalam kitab Madarijus Salikin berkata: “Barangsiapa yang angkuh untuk tunduk kepada kebenaran walaupun datang dari anak kecil atau orang yang dimarahinya atau yang dimusuhinya, maka kesombongan orang tersebut hanyalah kesombongan kepada Alloh karena Alloh adalah Al-Haq (benar); kalam-nya benar, agamanya-Nya benar. Kebenaran datangnya dari Alloh dan kepada-Nya akan kembali. Barangsiapa menyombongkan diri untuk menerima kebenaran berarti dia menolak segala yang datang dari Alloh dan menyombongkan diri di hadapan-Nya.”

مشتق من الضعة بكسر أوله وهي الهوان , والمراد بالتواضع إظهار التنزل عن المرتبة لمن يراد تعظيمه , وقيل هو تعظيم من فوقه لفضله .

Arti kata Tawadhu’ dari segi bahasa sama dengan makna kata al-hawaan yang artinya, malu atau merasa rendah hati.  Sedangkan secara istilah adalah menampakkan kerendahan martabat diri pada orang yang dianggap lebih mulia. Ada juga yang mengartikan Tawadhu’ adalah memuliakan seseorang yang lebih utama darinya.

Dalil-Dalil Al-Qur’an dan Al-Sunnah

وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا

Artinya: Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan “Salam”. (Al-Furqan: 63)

وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا

Artinya: Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi, dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung. (Al-Isra: 37)

Thabaathabaa’i memahami ayat 37 di atas dalam arti kiasan, yakni kesombongan yang engkau lakukan untuk menampakkan kekuasaan dan kekuatanmu pada hakikatnya adalah hanya waham dan ilusi, sebab sebenarnya ada yang lebih kuat dari engkau yakni bumi, terbukti kakimu tidak dapat menembus bumi, dan ada juga yang lebih tinggi darimu yakni gunung, buktinya engkau tidak setinggi gunung. Maka akuilah bahwa engkau sebenarnya rendah lagi hina. Tidak ada sesuatu yang dikehendaki dan diperebutkan manusia dalam hidup ini seperti kerajaan, kekuasaan, kemuliaan, harta benda dan lain-lain kecuali hal-hal yang bersifat waham yang tidak mempunyai hakikat di luar batas pengetahuan manusia.. Itu semua diciptakan dan ditundukkan Allah untuk diandalkan manusia guna memakmurkan bumi dan penyempurnaan kalimat (ketetapan) Allah. Tanpa hal yang tidak memiliki hakikat itu, manusia tidak hidup di dunia, dan kalimat Allah yang menyatakan: “Bagi kamu ada tempat kediaman sementara di bumi dan matha (Kesenangan hidup) sampai waktu yang ditentukan” (QS. Al-Baqarah [2] : 36). Demikian lebih kurang Thabaathabaa’i.

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْر

Artinya: Dari Nabi SAW berkata: “tidak akan masuk surga siapa yang dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun hanya sebesar zarrah.” (HR. Muslim, no. 33 juz 1)[4]

أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَد

Artinya: “Dan Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling merendah diri agar tidak ada seorang pun yang berbangga diri pada yang lain dan agar tidak seorang pun berlaku zhalim pada yang lain.” (HR.Muslim no. 2865)

Selama hidupnya, Rasulullah saw selau bersikap rendah hati, kasih sayang, lemah lembut dan penuh toleransi. Sekalipun terhadap anak- anak kecil. Sifat kenabian dan kedudukan tinggi beliau tidak menghalanginya berbuat baik dan berakhlak mulia yang khusus diberikan Allah. Beliau selalu memberi salam kepada anak- anak, bermuka manis kepada mereka, dan meluangkan waktu sekedar untuk menyenangkan mereka.[5]

            Anas bin Malik mengatakan bahwa ketika melewati kerumunan anak- anak beliau mengucapkan salam kepada mereka. (HR Muttafaq alaih).

 

  1. B.     Macam-Macam Tawadhu’ dan Tanda-Tandanya

Telah dibahas oleh para ulama sifat Tawadhu’ ini dalam karya-karya mereka, baik dalam bentuk penggabungan dengan pembahasan yang lain atau menyendirikan pembahasannya. Di antara mereka ada yang membagi Tawadhu’ menjadi dua, jika dilihat dari baik buruknya:

1. Tawadhu’ yang terpuji yaitu ke-Tawadhu’-an seseorang kepada Allah dan tidak mengangkat diri di hadapan hamba-hamba Allah.

2. Tawadhu’ yang dibenci yaitu Tawadhu’-nya seseorang kepada pemilik dunia karena menginginkan dunia yang ada di sisinya. (Bahjatun Nazhirin, 1/657).

Sikap Tawadhu’ di bagi menjadi empat macam dilihat dari objeknya:[6]

1. Tawadhu’ kepada Alloh SWT.
Tawadhu’ kepada Alloh SWT artinya merendahkan diri di hadapan-Nya. Tanda-tanda orang Tawadhu’ kepada Alloh SWT diantaranya:

a. Merasa kecil/sedikit dalam ta’at kepada-Nya. Artinya, seorang yang Tawadhu’ kepada alloh SWT itu merasa bahwa dalam ketaatan dan ibadahnya masih sangat sedikit dibandingkan dengan dosa-dosa yang telah dilakukan.
b. Merasa besar/banyak dalam maksiat. Artinya, seorang yang Tawadhu’ kepada Alloh SWT, merasa bahwa dosa/maksiat yang telah dilakukan sangat besar/banyak dibandingkan dengan amalnya.
c. memperbanyak pujian kepada Alloh SWT. Dan tidak pada diri sendiri.
d. Tidak menuntut hak kepada Alloh, tetapi berorientasi pada amal yang harus dilakukan.

2. Tawadhu’ kepada Agama

Tanda-tanda orang yang Tawadhu’ kepada agama diantaranya:
a. Tunduk dan patuh kepada aturan-aturan, perintah-perintah dan larangan-larangan di dalam agama islam.

  1. Tawadhu’ kepada Rosululloh Saw.

    Tanda-tanda orang Tawadhu’ pada Rosululloh diantaranya:
    a. Mengutamakan petunjuk Rosululloh diatas manusia lainnya.
    b. Mencintai, mentaati, dan mengikuti setiap perkataan dan perbuatan beliau.
    c. Menjadikan Rosululloh Saw. Sebagai teladan hidupnya.

    4. Tawadhu’ kepada Sesama.

    Tanda-tanda orang yang Tawadhu’ kepada manusia diantaranya:
    a. Menerima nasehat/saran kebenaran dari orang lain.
    b. Senantiasa melihat kelebihan-kelebihan saudaranya, dan berusaha menutupi kekurangan-kekurangannya.
    c. Siap membantu orang lain.
    d. Bermusyawarah dengan anggota masyarakat yang lain.
    e. Senantiasa berbaik sangka (khusnudzon) kepada orang lain.

  2. C.    Keutamaan Sifat Tawadhu’[7]

Allah Ta’ala berfirman:
تِلْكَ الدَّارُ الآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الأَرْضِ وَلا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash: 83)

Allah Ta’ala berfirman:

وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, dari kalangan orang-orang yang beriman.” (QS. Asy-Syu’ara`: 215)

Dari Iyadh bin Himar radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

“Dan Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling merendah diri agar tidak ada seorang pun yang berbangga diri pada yang lain dan agar tidak seorang pun berlaku zhalim pada yang lain.” (HR. Muslim no. 2865)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ

“Sedekah itu tidak akan mengurangi harta. Tidak ada orang yang memberi maaf kepada orang lain, melainkan Allah akan menambah kemuliaannya. Dan tidak ada orang yang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim no. 2588)

Dari Al-Aswad rahimahullah dia berkata: Aku pernah bertanya kepada ‘Aisyah tentang apa yang dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berada di rumah. Maka ‘Aisyah menjawab,

كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ

 

“Beliau selalu membantu pekerjaan keluarganya, dan jika datang waktu shalat maka beliau keluar untuk melaksanakan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 6939)

Penjelasan ringkas:

Tawadhu’ dan rendah diri kepada kaum mukminin merupakan sifat terpuji yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Karenanya barangsiapa yang tawadhu’ niscaya Allah akan mengangkat kedudukannya di mata manusia di dunia dan di akhirat dalam surga. Karenanya tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan sekecil apapun, karena negeri akhirat beserta semua kenikmatannya hanya Allah peruntukkan bagi orang yang tidak tinggi hati dan orang yang Tawadhu’ kepada-Nya. Serta akan dihormati, disukai, disegani –walaupun dia tidak menginginkan itu semua- oleh orang-orang sekelilingnya.

Dan dalam hal ini -sebagaimana dalam sifat terpuji lainnya-, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam merupakan suri tauladan terbaik. Bagaimana tidak sementara Allah Ta’ala telah memerintahkan beliau untuk merendah kepada kaum mukminin. Karenanya beliau senantiasa Tawadhu’ dan bergaul dengan kaum mukminin dari seluruh lapisan, dari yang kaya sampai yang miskin, dari orang kota sampai arab badui. Beliau duduk berbaur bersama mereka, menasehati mereka, dan memerintahkan mereka agar juga bersifat Tawadhu’. Kedudukan beliau yang tinggi tidak mencegah beliau untuk melakukan amalan yang merupakan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga. Karenanya sesibuk apapun beliau, beliau tetap menyempatkan untuk mengerjakan pekerjaan keluarganya di rumah.

  1. D.    Cara Menghilangakan Kesombongan dan Mengupayakan Ketawadlu’an[8]

Perlu diketahui, bahwa kesombongan termasuk perkara-perkara yang membinasakan dan membinasakanya fardlu’ain. Tentu kesombongan tidak akan hilang dengan angan-angan belaka, melainkan harus diupayakan pelenyapanya dengan sungguh-sungguh.

a)      Mencabut Pangkal Kesombongan

Ini hanya bisa dilakukan dengan ilmu dan amal bersama-sama. Hanya dengan gabungan keduanya penyembuhan akan berlangsung sempurna.

Dari segi ilmu, hendaklah seseorang mengenal diri sendiri dan tuhanya, dan bagaimana kedudukan dirinya dihadapan tuhanya. Dengan hal ini saja, sesungguhnya sudah sangat memadai untuk menghilangan kesombongan. Sebab jika seseorang benar-benar mengetahui dirinya sendiri, tentu ia juga mengetahuai bahwa hanya tawadlu’lah sikap yang pantas dan sesuai dengan dirinya. Dan jika ia mengenal tuhanya, tentu ia akan mengetahui bahwa keagungan, dan kesombongan hanyalah hak Allah semata.

Sedangkan dalam segi amaliyah, maka dengan membiasakan diri bersikap tawadlu’ terhadap orang lain karena Allah semata, dan menetapi akhlak oprang-orang yang bertawadlu’ sebagaimana akhlak-akhlak yang telah dicontohkan oleh beliau Rasulullah dan para shalihin.

            Tawadlu’ tidak akan diperoleh hanya dengan mengetahui ilmunya saja, akan tetapi pengamalan dalam kehidpan sehari-hari dengan sungguh-sungguh. Itulah sebabnya orang-orang Arab yang menyombongkan diri kepada Allah dan Rasulullah diperintahkan untuk beriman dan mengerjakan shalat berjama’ah.

BAB III

PENUTUP

            Secara Etimologi Arab, kata tawadhu’ berasal dari kata ( تواضع- يتواضع) yang mempunyai arti (merendahkan diri, rendah hati). Selain itu ada kata lain (وضع) yang artinya “tempat, letaknya”. Tawadhu’ secara Terminologi Menurut Al-Ghozali (1995:350). Tawadhu’ adalah mengeluarkan kedudukanmu atau kita dan menganggap orang lain lebih utama dari pada kita. Pada hakekatnya tawadhu’ itu adalah “sesuatu yang timbul karena melihat kebesaran Allah, dan terbukanya sifat-sifat Allah.” (Ahmad Athoillah, 2006: 448).[9] Tawadhu adalah kerendahan hati yang tidak menilai dirinya lebih baik dari orang lain dan tuntutannya adalah perilaku dan ucapan hormat kepada orang lain.

            Tawadhu’ yang terpuji yaitu ke-Tawadhu’-an seseorang kepada Allah dan tidak mengangkat diri di hadapan hamba-hamba Allah. Tawadhu’ yang dibenci yaitu Tawadhu’-nya seseorang kepada pemilik dunia karena menginginkan dunia yang ada di sisinya.

            Dari sifat tawadhu’ ini banyak keutamaannya seperti, akan diangkat derajatnya, masuk surga- karena tidak akan masuk surga bila dihatinya masih ada kesombongan, disukai, dihormati- walaupun tidak ingin dihormati- oleh orang-orang sekelilingnya.

DAFTAR PUSTAKA

–          al-Damsyqi, Syeikh Muhammad Djamuluddin Al-Qasimy. Mau’idhotul Mu’minin Bimbingan orang-orang mukmin. Terj. Abu Ridha. Semarang: CV. Asy Syifa. 1993.

–          Ali Hasyimi, Dr. Muhammad. Apakah Anda Berkepribadian Muslim?. Jakarta: Gema Insani Press. 1993.

–          http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2227414-sifat-tawadhu-berbanding-terbalik-dengan/#ixzz1wQEsX2vd yang diakses pada tanggal 31 Mei 2012.

–          http://indonesian.irib.ir yang diakses pada tanggal 31 Mei 2012.

–          Software Maktabah Shamilah

–          http://pondokpesantrenwaliaminah.blogspot.com.

–          http://al-atsariyyah.com

 

 

 

 

 

 

 


[2] http://indonesian.irib.ir yang diakses pada tanggal 31 Mei 2012.

 

[3] al-Damsyqi, Syeikh Muhammad Djamuluddin Al-Qasimy. Mau’idhotul Mu’minin Bimbingan orang-orang mukmin. Terj. Abu Ridha. Semarang: CV. Asy Syifa. 1993

[4] Software Maktabah Shamilah

[5] Ali Hasyimi, Dr. Muhammad. Apakah Anda Berkepribadian Muslim?. Jakarta: Gema Insani Press. 1993.

[8] al-Damsyqi, Syeikh Muhammad Djamuluddin Al-Qasimy. Mau’idhotul Mu’minin Bimbingan orang-orang mukmin. Terj. Abu Ridha. Semarang: CV. Asy Syifa. 1993

Posted on Desember 24, 2013, in Akhlak Tasawuf. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar